Mengapa Mengandalkan Ubuntu LTS Saja Tidak Lagi Cukup
Selama bertahun-tahun, rilis Ubuntu LTS (Long Term Support) telah menjadi pilihan utama bagi pengembang, sysadmin, dan perusahaan yang mencari stabilitas dan prediktabilitas. Dengan dukungan pembaruan keamanan selama lima tahun dan fokus pada kompatibilitas jangka panjang, Ubuntu LTS seperti versi 20.04 atau 22.04 telah menjadi fondasi dalam banyak lingkungan produksi.
Namun, seiring dengan semakin cepatnya perkembangan teknologi dan meningkatnya kebutuhan perangkat lunak modern, bergantung hanya pada Ubuntu LTS mulai menjadi hambatan, bukan lagi keunggulan.
Dalam artikel ini, kita akan membahas mengapa Ubuntu LTS tidak lagi cukup jika digunakan sebagai satu-satunya basis sistem, terutama bagi organisasi dan individu yang ingin tetap kompetitif di dunia teknologi yang terus berubah.
1. Kesenjangan Inovasi Semakin Lebar
Ubuntu LTS dirilis setiap dua tahun, dengan siklus dukungan selama lima tahun. Meskipun jadwal ini baik untuk menjaga stabilitas, hal ini membuat LTS tertinggal dari perkembangan teknologi terbaru. Fitur-fitur baru dalam bahasa pemrograman, pustaka (library), kernel, atau alat pengembangan dapat memakan waktu bertahun-tahun untuk tersedia di LTS—jika pun tersedia selama masa dukungan.
Sebagai contoh, versi Python terbaru seperti 3.10 atau 3.11 mungkin tidak tersedia di Ubuntu LTS yang masih menggunakan Python 3.8. Padahal, banyak pustaka modern membutuhkan versi terbaru tersebut, sehingga menimbulkan masalah kompatibilitas.
Hal serupa terjadi dengan pengembangan teknologi kontainer, Kubernetes, pembelajaran mesin, dan dukungan perangkat keras terbaru yang sering kali tidak didukung secara langsung oleh versi LTS. Akibatnya, pengembang harus melakukan build dari source code, menggunakan repositori pihak ketiga, atau menjalankan sistem dalam kontainer—yang semuanya menambah kompleksitas dan risiko.
2. Keamanan Melalui "Kekunoan" Sudah Tidak Relevan
Salah satu keunggulan utama Ubuntu LTS adalah keamanan: Canonical menjamin pembaruan keamanan untuk sistem inti dan paket-paket penting. Namun, model ini tidak selalu dapat mengimbangi ancaman keamanan yang semakin kompleks di ekosistem perangkat lunak modern.
Sebagian besar tumpukan perangkat lunak saat ini terdiri dari ratusan dependensi, banyak di antaranya tidak termasuk dalam repositori “main” Ubuntu. Untuk paket-paket yang ada di repositori “universe” (yang dikelola komunitas), tidak ada jaminan pembaruan keamanan.
Artinya, meskipun sistem Anda berbasis LTS, banyak pustaka dan alat penting bisa menjadi usang dan rentan hanya dalam hitungan bulan. Untuk menjaga keamanan yang sebenarnya, organisasi sering kali harus melakukan patch atau upgrade secara mandiri, yang justru menghilangkan manfaat menggunakan LTS.
Selain itu, layanan Extended Security Maintenance (ESM) dari Canonical untuk LTS versi lama adalah layanan berbayar, yang berarti mengandalkan LTS dalam jangka panjang bisa menjadi mahal.
3. Pengembangan Modern Membutuhkan Siklus Cepat
Metode pengembangan modern seperti Agile dan DevOps menekankan pada iterasi cepat, rilis berkala, dan integrasi berkelanjutan. Dalam konteks ini, sifat LTS yang bergerak lambat menjadi hambatan. Pengembang membutuhkan akses ke versi terbaru dari toolchain, IDE, dan lingkungan runtime.
Menggunakan versi lama demi "stabilitas" sering kali berarti siklus pengembangan menjadi lambat dan tim mulai terjebak dalam technical debt.
Misalnya, tim pengembang yang menggunakan Ubuntu 22.04 bisa saja menemukan bahwa tool WebAssembly terbaru, build Rust nightly, atau dukungan GPU modern tidak tersedia secara langsung. Akibatnya, tim harus menghabiskan waktu untuk menyesuaikan sendiri—yang berujung pada beban operasional tambahan.
4. Munculnya Sistem Operasi Imutabel dan Minimalis
Ekosistem Linux pun berkembang. Distribusi seperti Fedora Silverblue, openSUSE MicroOS, dan bahkan Ubuntu Core mulai mengadopsi model sistem operasi immutable dan berbasis kontainer, yang membuat pendekatan tradisional seperti LTS mulai terasa usang.
Sistem ini mendukung pembaruan atomik, jejak sistem minimalis, dan reproduksibilitas tinggi—fitur-fitur yang tidak menjadi fokus Ubuntu LTS.
Dalam konteks cloud-native dan edge computing, Ubuntu LTS bisa menjadi terlalu berat atau bahkan tidak cocok. Sistem di lingkungan ini bersifat ephemeral (sementara), dan fleksibilitas lebih penting daripada stabilitas jangka panjang. Pendekatan “set-and-forget” dari LTS semakin kehilangan relevansi.
5. Banyak Proyek Open Source Membutuhkan Versi Baru
Semakin banyak proyek open source yang menetapkan syarat minimum sistem yang lebih tinggi. Anda mungkin akan menemui kasus di mana versi terbaru dari Docker, Kubernetes, PostgreSQL, atau bahkan alat CLI populer tidak bisa dijalankan di Ubuntu LTS versi lama.
Hal ini bukan sekadar mengikuti tren. Banyak versi baru dari perangkat lunak menyertakan peningkatan keamanan, performa, dan dukungan fitur yang penting. Tetap menggunakan sistem lama bisa berarti Anda tertinggal dari manfaat ini.
Lebih buruk lagi, beberapa vendor perangkat lunak menghentikan dukungan untuk Ubuntu versi LTS tertentu, membuat Anda terjebak menjalankan perangkat lunak yang tidak lagi didukung di atas sistem yang katanya “didukung”.
6. Mitos LTS sebagai “Set and Forget”
Banyak organisasi mengadopsi Ubuntu LTS dengan asumsi mereka tidak perlu melakukan upgrade besar selama lima tahun. Walaupun ini bisa berlaku untuk sistem dasar, dalam praktiknya hal ini hampir tidak pernah cukup.
Aplikasi terus berkembang. Ancaman keamanan berubah. Perangkat keras pun memiliki siklus hidup yang berbeda.
Menganggap bahwa tumpukan teknologi berusia lima tahun bisa mengikuti kebutuhan masa kini sangatlah berisiko. Faktanya, banyak tim akhirnya menambahkan komponen-komponen baru ke sistem lama, yang justru menghasilkan sistem yang rapuh dan tidak konsisten.
Lebih parah lagi, ketika akhirnya harus melakukan upgrade (misalnya dari Ubuntu 18.04 ke 22.04), beban migrasi bisa sangat besar. Semakin jauh jarak antar versi, semakin besar kemungkinan terjadi ketidaksesuaian, API yang sudah usang, dan masalah kompatibilitas. Upgrade kecil dan rutin lebih baik daripada migrasi besar lima tahunan.
7. Alternatif dan Jalan Tengah
Ini bukan berarti Ubuntu LTS tidak memiliki tempat. Masih sangat cocok untuk beban kerja tertentu—khususnya bila dikombinasikan dengan praktik terbaik. Namun, LTS tidak seharusnya menjadi satu-satunya pilihan Anda.
Beberapa strategi yang bisa dipertimbangkan:
-
Gunakan rilis interim Ubuntu (seperti 23.10 atau 24.04) di lingkungan pengembangan untuk akses lebih awal ke fitur-fitur terbaru.
-
Kontainerisasi aplikasi menggunakan distro rolling seperti Arch atau Alpine agar tidak tergantung pada sistem host.
-
Manfaatkan Snap atau Flatpak untuk mendapatkan versi aplikasi terbaru meski sistem dasarnya masih LTS.
-
Gunakan image minimalis seperti Ubuntu Minimal, Debian Slim, atau bahkan membuat build kustom.
-
Lakukan upgrade LTS secara rutin, jangan menunggu hingga benar-benar usang.
Kesimpulan
Ubuntu LTS masih merupakan pilihan yang solid, namun dalam dunia teknologi yang bergerak cepat, mengandalkan LTS saja tidak lagi cukup. Kebutuhan akan alat modern, keamanan proaktif, dan siklus pengembangan cepat menuntut pendekatan yang lebih fleksibel.
Meskipun LTS menawarkan stabilitas, kenyataannya kita butuh lebih dari itu: kita butuh ketangkasan, kompatibilitas, dan kemampuan untuk beradaptasi. Memadukan LTS dengan pendekatan yang lebih modern adalah kunci untuk bertahan dan tumbuh dalam lanskap teknologi saat ini.